PERINSIP KESEDERAJATAN, KEADILAN DAN KETERBUKAAN


PERINSIP KESEDERAJATAN, KEADILAN DAN KETERBUKAAN

Prinsip kesederajatan dan keadilan yang dibangun Nabi, mencakup semua aspekbaik politik, ekonomi, maupun hukum. Pertama, aspek politik, Nabi mengakomodasikan seluruh kepentingan, semua rakyat mendapatkan hak yang sama dalam politik, walaupun penduduk Madinah sangat heterogen, baik dalam arti agama, ras, suku dan golongan-golongan. Mereka tidak dibedakan yaitu masingmasing memiliki untuk memeluk agama dan melaksanakan aktivitas dalam bidang  sosial ekonomi. 

Misalnya, suku Quraish yang berpredikat the best dan Islam sebagai agama dominan, tetapi mereka tidak dianak-emaskan. Seluruh lapisan masyarakat duduk sama rendah berdiri sama tinggi dan ideologi sukuisme dan nepotisme tidak dikenal Nabi. Kedua, aspek ekonomi, Nabi mengaplikasikan ajaran egaliterianisme1, yakni pemerataan saham-saham ekonomi kepada seluruh masyarakat.

Seluruh lapisan masyarakat mempunyai hak yang sama untuk berusaha dan berbisnis [QS.17:26 dan QS. 59:7]. Misi egaliterianisme ini sangat tipikal dalam ajaran Islam. Sebab misi utama yang diemban oleh Nabi bukanlah misi teologis, dalam arti untuk membabat habis orang-orang yang tidak seideologi dengan Islam, melainkan untuk membebaskan masyarakat dari cengkeraman kaum kapitalis. 

Dari sini, Mansour Fakih mensinyalir bahwa perlawanan yang dilakukan Quraish bukanlah perlawanan agama (teologi), melainkan lebih dikenal perlawanan pada aspek ekonomi, karena prinsip egaliterianisme Islam berseberangan dengan konsep kapitalisme Makkah23. Nurchalis Madjid, menyatakan bahwa masyarakat madani warisan Nabi, antara lain bercirikan egaliterianisme, penghargaan kepada orang berdasarkan prestasi, bukan prestise seperti keturunan, kesukuan, ras, keterbukaan, partisipasi seluruh anggota masyarakat, dan penentuan kepemimpinan melalui pemilihan bukan beradasrkan keturunan. 

Kondisi ini hanya berlangsung selama tigapuluh tahun masa khulafaur rasyidin, sesudah itu sistem sosial madani digantikan dengan sistem yang lebih banyak diilhami oleh semangat kesukuan atau tribalisme Arab pra Islam, dan kemudian dikukuhkan dengan sistem dinasti keturunan atau geneologis24. Dengan demikian, masyarakat egaliterianisme, digambarkan sebagai masyarakat yang mengakui adanya kesetaraan dalam posisi di masyarakat dari sisi hak dan kewajiban. Ketiga, aspek Hukum, Nabi memahami aspek hukum sangat urgen dansignifikan kaitannya dengan stabilitas suatu bangsa, karena itulah Nabi tidak pernah membedakan "orang atas", "orang bawah" atau terhadap keluarga sendiri [Ibid,hlm. 53]. 

Nabi sangat tegas dalam menegakan hukum dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara di Madinah, artinya tidak ada seorangpun kebal hukum. Prinsip konsisten legal [hukum] harus ditegakkan tanpa pandang bulu, sehingga supermasi dan kepastian hukum benar-benar dirasakan semua anggota masyarakat.

Prinsip inklusivisme (Keterbukaan)   

merupakan prinsip yang dipegang Nabi dalam membangun negara Madinah. Nurchalis Madjid, menyatakan bahwa inklusivisme atau keterbukaan adalah konsekuensi dari perikemanusiaan, merupakan suatu pandangan yang melihat secara posetif dan optimis, yaitu pandangan bahwa manusia pada dasarnya adalah baik [QS.7:172 dan QS.30:30], sebelum terbukti sebaliknya. Berdasarkan pandangan kemanusian yang optimis-posetif itu, harus memandang bahwa setiap orang mempunyai potensi untuk benar dan baik, setiap orang mempunyai potensi untuk menyatakan pendapat dan untuk didengar. Sedangkan pihak yang mendengar, kesediannya untuk  mendengar itu sendiri memerlukan dasar moral yang amat penting, yaitu sikap rendah hati, berupa kesiapan mental untuk menyadari dan mengakui diri sendiri selalu berpotensi untuk membuat kekeliruan. 

Inklusivisme merupakan sikap rendah hati untuk tidak merasa selalu benar, bersedia mendengar pendapat orang lain untuk diambil dan diikuti mana yang terbaik. Prinsip ini yang dipraktekan Nabi ketika membangun negara Madinah, karena Nabi sendiri selalu mendengarkan dan menerima kritik dari para sahabatnya dan kritikan itu tidak dianggap sebagai ancaman atau sebagai rival, makar, anti kemapanan dan lain sebagainya, meskipun berbagai kritik itu tajam menerpa Nabi selaku pimpinannya. Pada masa awal Nabi membangun Madinah, peran kelompok-kelompok masyarakat memiliki kemandirian cukup besar, dan pengambilan keputusan,

sebagaimana tercermin dalam konstitusi Madinah atau Piagam Madinah. Tetapi seiringdengan semakin banyaknya wahyu yang turun, sistem negara Madinah masaNabi kemudian berkembang menjadi sistem "teokrasi". Negara, dalam hal ini dimanifestasikan dalam figur Nabi yang memiliki kekuasaan amat besar, baik kekuasaan eksekutif, legeslatif maupun yudikatif. Segala sesuatu pada dasarnya dikembalikan kepada Nabi, dan ketaatan umat kepada Nabi pun semakin mutlak, sehingga tidak ada kemandirian lembaga masyarakat berhadapan dengan negara. Meskipun demikian, berbeda dengan umumnya penguasa dengan kekuasaan besar cenderung despotik, Nabi justru meletakan nilai-nilai dan norma-norma keadilan, persamaan, persaudaraan dan kemajemukan, yang menjadi dasar dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara, di samping mendukung keterlibatan masyarakat (sahabat) dalam pengambilan keputusan secara musyawarah. 

Sedangkan, pada masa al-Khulafa al-Rasyidin, sistem negara tidak lagi berbentuk teokrasi melainkan "nomokrasi". Prinsip ketuhanan diwujudkan dalam bentuk supermasi syari'ah, peranmasyarakat menjadi lebih besar, menunjukkan adanya masyarakat madani. Pada masa itu muncul kelompok-kelompok dalam masyarakat yang sebagiannya memiliki aspirasi politik yang berbeda dengan pemerintah. Mereka melakukan kontrol terhadap pemerintah, dan rekruitmen kepemimpinanpun yang didasarkan pada kapasitas individual. 

Tetapi, setelah masa Khulafaur Rasyidin, situasi mulai berubah, peran masyarakat mengalami penyusutan, rekruitmen pimpinan tidak lagi berdasarkan pilihan rakyat [umat], melainkan atas dasar keturunan. Ada beberapa lembaga keulamaanlah  yang merupakan satu-satunya lembaga masyarakat madani, masih relatif independen. Pada masa kekhalifaan yakni dari masa al-Khulafa al- Rasyid sampai menjelang akhir Dinasti Ustmani akhir abad ke-19, memang memiliki struktur relegio-politik, lembaga legislatif, dipegang oleh ulama. Mereka memiliki kemandirian dalam berijtihad menetapkan hukum-hukum, meskipun pada prakteknya kadang-kadang juga tidak terlepas dari pengaruh negera atau pemerintah.

Dari pandangan ini, tercermin bahwa sebenarnya masyarakat Madani yang bernilai peradaban ini dapat dibangun setelah Nabi Muhammad Saw melakukan reformasi dan transformasi pada individu yang berdemensi aqidah, ibadah dan akhlak dan dalam praktiknya, iman dan moralitas yang menjadi landasan dasar bagi "Piagam Madinah". 

Prinsip-prinsip dan nilai-nilai tersebut, menjadi dasar bagi semua aspek kehidupan, baik politik, ekonomi dan hukum pada masa Nabi. Maka, dapat dikatakan bahwa masyarakat madani yang diidealkan itu pernah terwujud pada masa Nabi, sehingga Robert N Bellah, menyatakan bahwa masyarakat yang dibangun Nabi, disebut sebagai "masyarakat yang sangat modern untuk zaman dan tempat saat itu, tetapi setelah Nabi wafat sampai dengan akhir al-Khulafa al-.Rasyidin, model masyarakat itu tidak bertahan lama. 

Sebab masyarakat di timur tengah dan umat manusia saat itu belum siap dengan prasarana sosial yang diperlukan untuk menopang suatu tatanan sosial yang modern seperti dirintis Nabi". Posisi "Piagam Madinah”29 adalah sebagai "kontrak sosial" antara Nabi Muhammad Saw dengan rakyat Madinah yang terdiri dari orang Quraisy, kaum Yastrib dan orang-orang yang mengakui berjuang bersama mereka. Posisi Rasul adalah sebagai pimpinan yang mereka akui bersama dan telah meletakkan Islam sebagai landasan bermasyarakat dan bernegara. Perjanjian atau piagam madinah itu, dapat disebut sebagai suatu social contrac oleh para orientalis. 

Makam itulah sebabnya perjanjian tersebut dalam konteks teori politik disebut sebagai Piagam Madinah atau Konstitusi Madinah, di dalamnya terdapat pasal-pasal yang menjadi hukum dasar sebuah negara kota dan kemudian disebut Madinah [al-Madinah al-Munawarah] atau [al- Madinah al-Nabi]. Maka, apabila akan mencari nilai-nilai yang tercermin dalam masyarakat Madinah saat itu, pastilah nilai-nilai tersebut adalah nilai-nilai Islami yang tertuang di dalam "Piagam Madinah”. Sedangkan kontrak sosial yang dilakukan Nabi, dinilai identik dengan teori "social contract" Thomas Hobbes, berupa perjanjian masyarakat yang menyatakan sumber kekuasaan pemerintah adalah perjanjian masyarakat. Pemerintah mimiliki kekuasaan karena adanya perjanjian masyarakat untuk mengurus mereka. 

Teori social contract J.J Rousseau, tentang otoritas rakyat dan perjanjian politik, harus dilaksanakan untuk menentukan masa depan rakyat serta menghancurkan monopoli yang dilakukan oleh kaum elite yang berkuasa demi kepentingan rakyat, juga identik dengan teori Nabi Muhammad Saw, ketika membangun ekonomi dengan membebaskan masyarakat dari ceng keraman kaum kapitalis.

Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa masyarakat Madinah yang dibangun Nabi tersebut, sebenarnya identik dengan civil society, karena secara sosio-kultural mengandung substansi keadaban atau peradaban. Nabi menjadikan masyarakat Madinah pada saat itu sebagai classless society yaitu masyarakat yang tak terbagi dalam kelas-kelas dan hukum tidak membedakan antara orang kaya dan orang miskin, pimpinan maupun bawahan, semua sama di depan hukum. 

Dari uraian di atas, setidaknya secara terminologi masyarakat madani yang berkembang dalam diskursus di Indonesia, berada dalam dua pandangan yakni "masyarakat Madinah" dan "masyarakat sipil" [civil society]. Keduanya tanpaknya berbeda tetapi sama, berbeda karena memang secara historis keduanya mewakili budaya yang berbeda yakni masyarakat madinah yang mewakili historis peradaban Islam, sedangkan masyarakat sipil adalah hasil dari peradaban Barat seperti yang telah dipaparkan di atas. Perbedaan lainnya, ialah masyarakat Madinah menjadi tipe ideal, sangat sempurnanya, karena komunitas masyarakat yang dipimpin langsung oleh seorang Nabi, dan karena sakin idealnya protetipe "masyarakat madinah" yang dipimpin oleh Nabi, dunia Islam sampai sekarang ini masih meraba-raba "masyarakat madani" yang bagaimana dalam bentuk kekinian.

Maka, apabila masyarakat madani diasosiasikan sebagai penguat peran masyarakat sipil, maka masyarakat madani hanya bertahan dalam masa empat khalifah khulafaurrashiddin, setelah itu masyarakat Islam kembali kepada masa monarkhi, di mana penguasaan negara [state] kembali menjadi besar, dan peran masyarakat menjadi kecil. Oleh sebab itu, ketiga prinsip-prinsip yang dikemukakan di atas, dapat dikatakan sebagai elemen penting terbentuknya "masyarakat madani" adalah masyarakat yang memegang teguh ideologi yang benar, berakhlak mulia, secara politik-ekonomibudaya bersifat mandiri serta memeliki pemerintahan sipil, memiliki prinsip kesederajatan dan keadilan, serta prinsip keterbukaan. Timbul pertanyaan, nilai substansi seperti apakah yang dapat mewakili kecenderungan "masyarakat madinah". 

Apabila dikaji secara umum, setidaknya nilai subtansi semangat Islam dalam pemberdayaan masyarakat mencakup tiga pilar utama, sebagai jawaban terhadap pertanyaan tersebut, yakni : Pertama, musyawarah [syuro'], kedua, keadilan [adl], dan ketiga, persaudaraan [ukhuwah]. Sedangkan "masyarakat sipil" [civil society], bermula dari semangat dan pergumulanpemikiran masyarakat barat untuk mengurangi peranan negara [state] terhadap perannya dalam kehidupan masyarakat.

Seperti diketahui bahwa pada abad pertengahan, masyarakat barat dikuasai oleh dua kekuatan yang sangat dominan, yakni Gereja dan kerajaan-kerajaan, sehingga para sejarawan Barat menyebutnya sebagai "abad kegelapan" [dark age]. Muncul gerekan perlawanan baik dari gerakan-gerakan para ilmuwan yang menghadirkan gerekan sekularisme dan humanisme, di mana mereka menyatakan lepas dari keyakinan gereja dan manusia dianggap sebagai pusat segalanya [antrophosentris]31. 

Rasulullah saw menyerukan dakwah al-qur’an kepada ilmu pengetahuan. Rasulullah SAW merupakan orang yang pertama kali menerima seruan Al-Qur’an. Rasul, sangat peduli dengan dakwah Islamiah dengan kedua aspeknya, yaitu agama dan ilmu pengetahuan. Beliau membangkitkan perhatian untuk melakukan studi dan penelitian. Rasulullah SAW mengumpulkan orang-orang yang pandai menulis untuk mencatat ayat-ayat Al-Qur’an (wahyu) yang diturunkan kepadanya. 

Rasulullah SAW menyeru kaum Muslimin untuk belajar menulis dan membaca, agar mereka dapat menulis ayat-ayat Al-Qur’an dan mempelajarinya serta menyebarkannya, sehingga pada perang Badar, ditetapkanlah tebusan sebagian dari tawanan perang yang pandai menulis-membaca, setiap orang dari mereka cukup mengajar menulis-membaca sehingga pandai, sepuluh anak-anak penduduk Madinah bagi setiap orang dari mereka. Kemudian Rasulullah SAW memerintahkan sahabat-sahabatnya mempelajari bahasa-bahasa asing [selain bahasa Arab]. 

Rasulullah SAW bersabda: “Ilmu sedikit [yang diamalkan] lebih baik daripada banyak ibadah tanpa ilmu” [HR.Tabrani]. “Barangsiap menempuh suatu jalan dalam mencari ilmu, maka Allah memudahkan baginya suatu jalan menuju ke surga” [HR. Turmudzi]. “Saling menasehatilah kamu, dalam ilmu pengetahuan, karenasesungguhnya suatu khianat [kecurangan] dalam ilmu pengetahuan lebih jahat  dari pada khianat [kecurangan] dalam harta benda” [HR. Abunaim]. 

Rasulullah menganjurkan umatnya merantau untuk mencari ilmu pengetahuan, meskipun ditempat yang jauh sebagaimana sabdanya: ”Carilah ilmu pengetahuan, sekalipun dinegeri Cina”. Dari hadis ini, terlihat kemampuan bahasa sangat diperlukan dalam menuntut ilmu pengetahuan. Dalam hadits Abu Zarr RA dari Rasulullah SAW ia bersabda: “Menghadiri suatu majlis alim [pengajian] lebih utama daripada shalat sunnat seribu rakaat, mengunjungi seribu orang sakit, dan menghadiri seribu jenazah. Ditanyakan: Ya Rasulullah, apakah juga dari bacaan Al-Qur’an? Rasulullah SAW menjawab: Al-Qur’an itu tiada manfaatnya kecuali dengan ilmu.”



Previous
Next Post »