Tujuan Dan Pedoman Pemidanaan


Tujuan dan Pedoman Pemidanaan :

Berbeda dengan KUHP yang sekarang berlaku, di dalam Konsep dirumuskan tentang “Tujuan dan Pedoman Pemidanaan”. Dirumuskan-nya hal ini, bertolak dari pokok pemikiran bahwa :
  1. Sistem hukum pidana merupakan satu kesatuan sistem yang ber-tujuan (“purposive system”) dan pidana hanya merupakan alat/ sarana untuk mencapai tujuan;
  2. Tujuan pidana merupakan bagian integral (sub-sistem) dari ke-seluruhan sistem pemidanaan (sistem hukum pidana) di samping sub-sistem lainnya, yaitu sub-sistem “tindak pidana”, “pertang-gungjawaban pidana (kesalahan)”, dan “pidana”;
  3. Perumusan tujuan dan pedoman pemidanaan dimaksudkan se-bagai fungsi pengendali/kontrol/pengarah dan sekaligus mem-berikan dasar/landasan filosofis, rasionalitas, motivasi, dan justifi-kasi pemidanaan;
  4. Dilihat secara fungsional/operasional, sistem pemidanaan meru-pakan suatu rangkaian proses melalui tahap “formulasi” (kebi-jakan legislatif), tahap “aplikasi” (kebijakan judisial/judikatif), dan tahap “eksekusi” (kebijakan administratif/eksekutif); oleh karena itu agar ada keterjalinan dan keterpaduan atara ketiga tahap itu sebagai satu kesatuan sistem pemidanaan, diperlukan perumus-an tujuan dan pedoman pemidanaan.
Ide-ide Dasar Sistem Pemidanaan :

Sistem pemidanaan yang dituangkan di dalam Konsep, dila-tarbelakangi oleh berbagai ide-dasar atau prinsip-prinsip sebagai berikut :
  1. ide keseimbangan monodualistik antara kepentingan masyara-kat (umum) dan kepentingan individu;
  2. ide keseimbangan antara “social welfare” dengan “social defen-ce”; 
  3. ide keseimbangan antara pidana yang berorientasi pada pelaku/ “offender” (individualisasi pidana) dan “victim” (korban); 
  4. ide penggunaan “double track system” (antara pidana/punish-ment dengan tindakan/treatment/measures); 
  5. ide mengefektifkan “non custodial measures (alternatives to imprisonment)”.
  6. ide elastisitas/fleksibilitas pemidanaan (“elasticity/flexibility of sentencing”); 
  7. ide modifikasi/perubahan/penyesuaian pidana (“modification of sanction”; the alteration/annulment/revocation of sanction”; “re-determining of punishment”); 
  8. ide subsidiaritas di dalam memilih jenis pidana;
  9. ide permaafan hakim (“rechterlijk pardon”/”judicial pardon”);
  10. ide mendahulukan/mengutamakan keadilan dari kepastian hu-kum;
Bertolak dari ide-ide dasar itu, maka di dalam Konsep ada ketentutuan-ketentuan yang tidak ada dalam KUHP (WvS) yang berlaku saat ini, yaitu antara lain :
  1. adanya pasal yang menegaskan asas “tiada pidana tanpa kesalahan” (asas culpabilitas) yang diimbangi dengan adanya ketentuan tentang “strict liability” dan “vicarious liability” (Pasal 35);
  2. adanya batas usia pertanggungajawaban pidana anak (“the age of criminal responsibility”); Pasal 46.
  3. adanya bab khusus tentang pemidanaan terhadap anak (Bab III Bagian Keempat); 
  4. adanya kewenangan hakim untuk setiap saat menghentikan atau tidak melanjutkan proses pemeriksaan perkara pidana terhadap anak (asas diversi), Pasal 111;
  5. adanya pidana mati bersyarat (Pasal 86);
  6. dimungkinkannya terpidana seumur hidup memperoleh pelepasan bersyarat (Pasal 67 jo. 69);
  7. adanya pidana kerja sosial; pidana pembayaran ganti rugi, dan pe-menuhan kewajiban adat dan/atau kewajiban menurut hukum yang hidup (Pasal 62 jo 64);
  8. adanya pidana minimal khusus yang disertai juga dengan aturan/pe-doman pemidanaannya atau penerapannya (Pasal 66, 82, 120, 121, 130, 137);
  9. dimungkinkannya penggabungan jenis sanksi (pidana dan tindakan);
  10. dimungkinkannya pidana tambahan dijatuhkan sebagai sanksi yang berdiri sendiri (Pasal 64 ayat 2);
  11. dimungkinkannya hakim menjatuhkan jenis pidana lain yang tidak tercantum dalam perumusan delik yang hanya diancam dengan pida-na tunggal (Pasal 56-57); 
  12. dimungkinkannya hakim menjatuhkan pidana secara kumulatif wa-laupun ancaman pidana dirumuskan secara alternatif (Pasal 58);
  13. dimungkinkannya hakim memberi maaf/pengampunan (“rechterlijk pardon”) tanpa menjatuhkan pidana/tindakan apapun kepada terdak-wa, sekalipun telah terbukti adanya tindak pidana dan kesalahan (Pasal 52 ayat 2).
  14. adanya kewenangan hakim untuk tetap mempertanggungjawabkan/ memidana si pelaku walaupun ada alasan penghapus pidana, jika si pelaku patut dipersalahkan (dicela) atas terjadinya keadaan yang menjadi alasan penghapus pidana tersebut (dikenal dengan asas “culpa in causa” atau asas “actio libera in causa”); Pasal 54 *)
  15. dimungkinkannya perubahan/modifikasi putusan pemidanaan, wa-laupun sudah berkekuatan tetap (Pasal 55 dan Pasal 2 ayat 3);



Previous
Next Post »