Makalah - Paradigma Etika Dalam Pelayanan Publik


Paradigma Etika Dalam Pelayanan Publik
..::Tugas Makalah Administrasi Publik::..

Menurut Fadillah (2001) etika pelayanan publik adalah suatu cara dalam melayani publik dengan menggunakan kebiasaan-kebiasaan yang mengandung nilai-nilai hidup dan hukum atau norma yang mengatur tingkah laku manusia yang dianggap baik. Oleh sebab itu maka etika mempersoalkan ”baik-buruk”, dan bukan ”benar-salah” tentang sikap, tindakan dan perilaku manusia dalam berhubungan dengan sesamanya, baik dalam masyarakat maupun organisasi publik, maka etika mempunyai peran penting dalam praktek administrasi publik.

Dalam paradigma ”dikotomi politik dan administrasi” sebagaimana dijelaskan oleh Wilson (dalam Widodo, 2001) menegaskan bahwa pemerintah memiliki dua fungsi yang berbeda, yaitu fungsi politik yang berkaitan dengan pembuatan kebijakan (public policy making) atau pernyataan apa yang menjadi keinginan negara, dan fungsi administrasi, yaitu berkenaan dengan pelaksanaan kebijakan-kebijakan tersebut.

Dengan demikian kekuasaan membuat kebijakan publik berada pada kekuasaan politik (political master), dan melaksanakan kebijakan politik tadi merupakan kekuasaan administrasi publik. Namun karena administrasi publik dalam menjalankan kebijakan politik tadi memiliki kewenangan secara umum disebut ”discretionary power”, keleluasaan untuk menafsirkan suatu kebijakan politik dalam bentuk program dan proyek, maka timbul suatu pertanyaan, apakah ada jaminan dan bagaimana menjamin bahwa kewenangan itu digunakan secara ”baik dan tidak secara buruk” ? Atas dasar inilah etika diperlukan dalam administrasi publik. Etika dapat dijadikan pedoman, referensi, petunjuk tentang apa yang harus dilakukan oleh aparat birokrasi dalam menjalankan kebijakan politik, dan sekaligus digunakan sebagai standar penilaian apakah perilaku aparat birokrasi dalam menjalankan kebijakan tersebut dapat dikatakan baik atau buruk.

Saran klasik di tahun 1900 sampai 1929 untuk memisahkan administrasi dari politik (dikotomi) menunjukan bahwa administrator sungguh-sungguh netral, bebas dari pengaruh politik ketika memberikan pelayanan publik. Akan tetapi kritik bermunculan menentang ajaran dikotomi administrasi – politik pada tahun 1930-an, sehingga perhatian mulai ditujukan kepada keterlibatan para administrator dalam keputusan-keputusan publik atau kebijakan publik. Sejak saat ini mata publik mulai memberikan perhatian khusus terhadap “permainan etika” yang dilakukan oleh para birokrat pemerintahan. Penilaian keberhasilan seorang administrator atau aparat pemerintah tidak semata didasarkan pada pencapaian kriteria efisiensi, ekonomi, dan prinsip-prinsip administrasi lainnya, tetapi juga kriteria moralitas, khususnya terhadap kontribusinya terhadap public interest atau kepentingan umum (Henry, 1995).

Hummel (dalam Widodo, 2001) mengatakan bahwa birokrasi sebagai bentuk organisasi yang ideal telah merusak dirinya dan masyarakatnya dengan ketiadaan norma-norma, nilai-nilai dan etika yang berpusat pada manusia. Sementara itu Kartasasmita (1997) mengatakan bahwa birokrasi melenceng dari keadaan yang seharusnya. Birokrasi selalu dilihat sebagai masalah teknis dan bukan masalah moral, sehingga timbul berbagai persoalan dalam bekerjanya birokrasi publik.

Sementara itu pemahaman mengenai pelayanan publik yang disediakan oleh birokrasi merupakan wujud dari fungsi aparat birokrasi sebagai abdi masyarakat dan abdi negara. Sehingga maksud dari pelayanan publik adalah demi mensejahterakan masyarakat. Dalam kaitan itu maka Widodo (2001) mengartikan pelayanan publik sebagai pemberian layanan (melayani) keperluan orang banyak atau masyarakat yang mempunyai kepentingan pada organisasi publik sesuai dengan aturan pokok dan tata cara yang telah ditentukan.

Sehubungan dengan hal tersebut Thoha (1998) mengatakan bahwa kondisi masyarakat saat ini terjadi suatu perkembangan yang sangat dinamis, tingkat kehidupan masyarakat yang semakin baik merupakan indikasi dari empowering yang dialami oleh masyarakat. Hal ini berarti masyarakat semakin sadar akan apa yang menjadi hak dan kewajibannya sebagai warga negara dalam hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Masyarakat semakin berani untuk mengajukan tuntutan, keinginan dan aspirasinya kepada pemerintah. Masyarakat semakin kritis dan semakin berani untuk melakukan kontrol terhadap apa yang dilakukan oleh pemerintah.

Dengan kondisi masyarakat yang semakin kritis, birokrasi publik dituntut mengubah posisi dan peran (revitalisasi) dala memberikan pelayanan publik, yaitu dari yang suka mengatur dan memerintah berubah menjadi suka melayani, dari yang suka menggunakan pendekatan kkuasaan berubah menjadi suka menolong menuju ke arah yang fleksibel kolaboratis dan dialogis, dan dari cara-cara yang sloganis menuju cara-cara kerja yang realistik pragmatis (Thoha, 1998).

Dalam kondisi masyarakat seperti digambarkan di atas aparat birokrasi harus dapat memberikan layanan publik yang lebih profesional, efektif, efisien, sederhana, transparan, terbuka, tepat waktu, reponsif, adaptif dan sekaligus dapat membangun kualitas manusia dalam arti meningkatkan kapasitas individu dan masyarakat untuk secara aktif menentukan masa depannya sendiri (Effendi, 1989).

Selanjutnya pelayanan publik yang profesional adalah pelayanan publik yang dicirikan oleh adanya akuntabilitas dan responsibilitas dari pemberi layanan, yaitu aparatur pemerintah (Widodo, 2001). Ciri-cirinya adalah : 
  • (1) efektif, lebih mengutamakan pada pencapaian apa yang menjadi tujuan dan sasaran; 
  • (2) sederhana, mengandung arti prosedur/tata cara pelayanan diselenggarakan secara mudah, cepat, tepat, tidak berbelit-belit, mudah dipahami dan mudah dilaksanakan oleh masyarakat yang meminta pelayanan; 
  • (3) kejelasan dan kepastian (transparan), mengandung arti adanya kejelasan dan kepastian mengenai : (a) prosedur dan tata cara pelayanan; (b) persyaratan pelayanan, baik teknis maupun administratif; (c) unit kerja dan atau pejabat yang berwenang dan bertanggung jawab dalam memberikan pelayanan; (d) rincian biaya/tarif pelayanan dan tata cara pembayarannya; dan (e) jadwal waktu penyelesaian pelayanan; 
  • (4) keterbukaan, mengandung arti prosedur/tata cara, persyaratan, satuan kerja/pejabat penanggung jawab pemberi pelayanan, waktu penyelesaian, rincian biaya serta hal-hal lain yang berkaitan dengan proses pelayanan wajib diinformasikan secara terbuka agar mudah diketahui dan dipahami oleh masyarakat, baik diminta maupun tidak; 
  • (5) efisiensi, mengandung arti : (a) persyaratan pelayanan hanya dibatasi pada hal-hal yang berkaitan langsung dengan pencapaian sasaran pelayanan dengan tetap memperhatikan keterpaduan antara persyaratandengan produk layanan yang berkaitan; (b) dicegah adanya pengulangan pemenuhan persyratan dari satuan kerja/instansi pemerintah lain yang terkait; 
  • (6) ketepatan waktu, kriteria ini mengandung arti bahwa pelaksanaan pelayanan masyarakat dapat diselesaikan dalam kurun waktu yang telah ditentukan; 
  • (7) responsif, lebih mengarah pada daya tanggap dan cepat menanggapi apa yang menjadi masalah, kebutuhan dalam aspirasi masyarakat yang dilayani; dan 
  • (8) adaptif, adalah cepat menyesuaikan terhadap apa yang menjadi tuntutan, keinginan dan aspirasi masyarakat yang dilayani yang senantiasa mengalami perkembangan.




Previous
Next Post »