Komunitas ASEAN Dan Kesejahtraan Sosial
ASEAN sebagai sebuah organisasi regional telah bertegak-berkembang seperti adanya sekarang, setelah melewati perjalanan 42 tahun, 8 Agustus 1967-8 Agustus 2009. Selama kurun waktu tersebut, ASEAN melangkahkan geraknya dengan dukungan dan “kerja keras” dari pemerintah negara-negara pendukungnya. Organisasi yang dibangun oleh negara dan bangsa yang memiliki sejumlah perbedaan dari ideologi sampai tingkat kesejahteraan ekonomi, dan lingkungan sosial budaya dalam usianya yang ke 42 tahun itu, terlepas dari masih adanya “setuwmpuk” permasalahan yang dihadapi, telah berhasil menciptakan proses kehidupan bersama yang semakin berkembang ke arah komunitas yang “semakin kuat”. Para pemimpin negara-negara anggotanya dalam setiap periode waktu pemerintahannya, telah memberikan dukungan yang memperkuat pondasi bertegaknya organisasi regional ini.
Kita semua tahu, ketika ia dibentuk pada 8 Agustus 1967 di Bangkok, Thailand, organisasi ini beranggotakan 5 negara, yaitu Philipina, Indonesia, Malaysia, Singapura, dan Thailand. Secara ideologis, kelima negara pendiri ASEAN itu adalah negara “anti komunisme”. Namun, semua kita juga tahu bahwa walaupun negara-negara pendiri organisasi itu anti komunis, mereka sadar bahwa di antara mereka pun sebenarnya mempunyai perbedaan-perbedaan yang bernilai sensitif yang harus diatasi dengan sebaik-baiknya.
Seiring dengan perjalanan waktu, organisasi ini berhasil menyelesaikan pelbagai persoalan dan berhasil menciptakan pelbagai kerja bersama dan menciptakan proyek-proyek dalam berbagai bidang termasuk dalam bidang sosial dan budaya. Hasil-hasil itu mampu membangun meminjam Prof. Dr. Dorojatun Kuntjoro Jakti “… berhasil menumbuhkan self confidence (rasa percaya diri) yang semakin besar di kalangan anggotanya” (Bashri (ed.), 2003:341). Memang dalam pertambahan usianya itu, lahir kesadaran baru yang menghasilkan kesepakatan bersama yang akan diwujudkan dan dikembangkan bersama.
Salah satu wujud dari kesadaran baru di antara pemimpin-pemimpin ASEAN itu ialah kesepakatan untuk menciptakan apa yang dikenal dengan ASEAN Community (Komunitas ASEAN). Kesepakatan ini dibuat pada 7 Oktober 2003 melalui Declaration of ASEAN Concord II (Bali Concord II), dengan memproklamirkan pembentukan komunitas ASEAN yang terdiri dari tiga pilar. Ketiga pilar itu ialah Komunitas Keamanan ASEAN (ASEAN Security Community ASC), Komunitas Ekonomi ASEAN (ASEAN Economic Community AEC), dan Komunitas Sosial-Budaya ASEAN (ASEAN Socio-Cultural Community ASCC).
Ketiga pilar itu sebenarnya saling terkait dan saling memperkuat untuk memcapai tujuan bersama demi menjamin perdamaian, stabilitas, dan kemakmuran di kawasan Asia Tenggara. Karena itu, ketiga pilar pendukung komunitas ASEAN itu menjadi paradigma baru yang akan menggerakkan kerjasama ASEAN menjadi sebuah komunitas dan identitas baru “yang lebih mengikat” (Luhulima dan Anwar, 2008:5-6).
Apa yang menarik dari disepakatinya sebuah bangunan masyarakat ASEAN di masa depan itu? Jawabannya, kesadaran baru yang dibangun di atas rasa percaya diri yang semakin kuat, untuk menciptakan “kerjasama yang saling percaya”, tanpa mengabaikan kenyataan atas perbedaan yang sensitif di antara mereka yang berbentuk etnik, agama, dan ideologi. Sebagaimana diketahui, dengan masuknya Vietnam, Laos, dan Kamboja, maka berarti pula sikap anti komunis yang ada pada negara-negara pendiri ASEAN telah mencair. Jadi dapat dikatakan bahwa persoalan ideologis “bukanlah” sesuatu yang tidak dapat “dicairkan” menuju suatu masyarakat-komunitas ASEAN di masa depan, pada 2015.
Dengan disepakatinya agenda untuk menciptakan komunitas ASEAN pada kurun waktu ¼ abad pertama dalam abad ke-21 ini, sebenarnya ada suatu hal yang harus dipikirkan secara jernih oleh pemerintah negara anggota ASEAN. Hal itu ialah terbukanya ruang proses perubahan orientasi, yaitu dari state-oriented ke people-oriented. Tentu hal ini sangat penting, karena walaupun ASEAN telah berusia 42 tahun, organisasi regional ini masih kurang dikenal oleh masyarakatnya sendiri. Menurut peneliti LIPI :
“Merupakan suatu kenyataan yang serius bahwa kita perlu membahas bagaimana cara menjadikan ASEAN populer di kalangan masyarakat, terutama di kalangan generasi muda, karena merekalah yang akan mewarisi ASEAN, khususnya apabila menjadi bagian dari komunitas ASEAN. Pendekatan people-oriented harus menjadi bagian dari usaha bersama pemerintah, kelompok bisnis, organisasi non-pemerintah dan masyarakat umum yang dapat ikut berpartisipasi secara serius” (Luhulima dan Anwar, 2008:177-178).”
Dilakukannya perubahan orientasi itu tidaklah berarti bahwa peranan negara akan diperlemah. Sama sekali tidak. Yang hendak dituju dengan perubahan orientasi itu justru untuk lebih memperkokoh posiosi ASEAN sebagai sebuah organisasi yang diciptakan untuk mewujudkan sebuah kerjasama agar cita-cita menciptakan sebuah masyarakat sejahtera dan adil di kawasan ASEAN, secara berangsur, segera terwujud.
Tentu kita perlu melihat landasan-landasan konstitusional negara kita dalam kaitannya dengan social welfare kesejahteraan sosial itu. Memang di dalam program strategis untuk mewujudkan komunitas ASEAN itu, khususnya komunitas sosial-budaya ASEAN (ASCC), terdapat di dalam blueprint-nya sebagai berikut :
“The primary goal of the ASCC is to contribute realizing an ASEAN Community that is people-oriented and socially responsible with a view to achieving enduring solidarity and unity among the nations and people of ASEAN by forging a common identity and building a caring and sharing society which is inclusive and harmonious where the wellbeing, livelihood, and welfare of the people are enhanced” (ASEAN Secretariate, 2009:67).
Untuk mewujudkan tujuan itu, tentu peranan pemerintah masing-masing negara anggota mempunyai posisi penting-strategis. Artinya, kehendak memperkuat kehidupan rakyat dengan tingkat kesejahteraan yang lebih baik merupakan salah satu tugas utama negara melalui pemerintahannya masing-masing. Sebagai bekas wilayah bangsa-bangsa jajahan, kemerdekaan yang telah puluhan tahun direbut kembali, salah satu tujuan utamanya adalah melindungi rakyat, termasuk melindungi rakyat dari keterjerumusan kemiskinan. Dengan demikian, untuk meningkatkan dan memperkuat kesejahteraan rakyat, tidak bisa tidak, peran pemerintah masih sangat besar, termasuk pemerintah Republik Indonesia.
Dalam konteks negara Republik Indonesia, peran pemerintah untuk melaksanakan perwujudan social welfare and protection (kesejahteraan sosial) dan programnya itu harus berdasarkan ketentuan konstitusi yang menjadi dasar pegangan kita sebagai bangsa-negara merdeka dan pendiri ASEAN. Keterangan lebih lanjut akan diberikan pada bagian kedua di bawah ini.
Admin : Andi Akbar Muzfa, SH