Pemilih tanpa kita sadari mengalami proses pencerdasan politik secara alami. Kalau pada pemilu 2009 para politisi masih bisa menukar suara rakyat dengan sekantong sembako dan segardus indomie, pada pamilu 2014 belum tentu itu berlaku.
Pemilih 2009 masih didominasi pemilih pragmatis, siapa yang memberinya uang itu yang dipilih. Sementara pemilih 2014 sudah menjadi pemilih kalkukaltif, pemilih cerdas yang mampu mengkalkulasi untung ruginya memilih politisi atau partai politik.
Tahun 2014 merupakan ajang pertarungan politik yang sedang ramai diperbincangkan dalam kurun waktu belakangan ini, Indonesia seakan diguncang fenomena candu akan jabatan dan kekuasaan sehingga Politik terkadang dijadikan jembatan mulus untuk mendagangkan kepentingan dengan mengambil Rakyat sebagai Label/Atas Nama Rakyat!
Melirik mirisnya pemililihan Calon Legislatif yang masih memainkan gaya Lama (Money Politics) dalam berkampanye tentu akan berimbas pada Kualitas kerja Para Anggota Dewan setelah menjabat nantinya. Berikut 3 (tiga) Kekeliruan para Caleg klasik Money Politics yang sekiranya masih ada dan bergentayangan di tengah-tengah masyarakat :
Latar Belakang Caleg yang Buruk
Dalam analogi Petinju mengatakan “kemenangan seorang petinju tidak ditentukan di atas ring, tetapi ditentukan oleh konsistensinya berlatih hari demi hari di luar ring”. Jika ingin melihat dimana seseorang berkembang menjadi juara, lihatlah rutinitasnya sehari-hari!
Kalau analogi bertinju dalam politik ini dipakai untuk melihat elektabiltas caleg, maka dapat dikatakan bahwa kemenangan caleg pada pemilu 2014 tidak ditentukan pada saat musim kampanye, tetapi ditentukan oleh konsistensinya dari sekarang menjadi aktor sosial yang terlibat langsung mendesain gerakan-gerakan sosial kemasyarakatan.
Memanfaatkan Sisi Pragmatis Pemilih
Pemilih tanpa kita sadari mengalami proses pencerdasan politik secara alami. Kalau pada pemilu 2009 para politisi masih bisa menukar suara rakyat dengan sekantong sembako dan segardus indomie, pada pamilu 2014 belum tentu itu berlaku.
Pemilih 2009 masih didominasi pemilih pragmatis, siapa yang memberinya uang itu yang dipilih. Sementara pemilih 2014 sudah menjadi pemilih kalkukaltif, pemilih cerdas yang mampu mengkalkulasi untung ruginya memilih politisi atau partai politik.
Mengangggap Bodoh Rakyat
Kenapa politisi tidak mau belajar, berfikir instan, dan hanya menghalalkan segala cara? Karena politisi selalu menganggap bodoh rakyat. Sedemikian teganya politisi yang tidak pernah mau berhenti membodohi rakyat dengan menghargai satu suara rakyat dengan sekantong sembako.
Masih menganggap rakyat bodoh untuk dibohongi dengan segala macam janji-janji politik, sama saja halnya caleg gali kuburan sendiri. Karena dengan pemilih cerdas yang kalkukatif, rakyat akan menggotong ramai-rami politisi yang selama ini membodohinya masuk ke dalam kuburan.
Rakyat sudah jenuh dibodohi, sudah lelah dibohongi, dan sudah capek dijanji. Pemilu 2014 adalah saatnya mengubur politisi yang hanya pura-pura baik kepada rakyat ketika musim kampanye.
Penulis : A. Akbar Muzfa, SH (Ketua Pembina Anggota HMI Cab.Sidrap)
Pemilih Cerdas maka Cerdas Memilih!
Andi Akbar Muzfa
Anggota HMI Cab.Sidrap
Caleg Sidrap 2014
Caleg Sidrap Untuk 2014
DIskusi HMI Sidrap
Follow-Up HMI
HmI Cab. Sidrap
Info HMI Sidrap