SEJARAH PERKEMBANGAN PEMIKIRAN YUNANI KUNO


Dari Mitos ke Logos
Secara historis kelahiran dan perkembangan pemikiran Yunani Kuno(sistem berpikir) tidak dapat dilepaskan dari keberadaan kelahiran dan perkembangan filsafat, dalam hal ini adalah sejarah filsafat.

Dalam tradisi sejarah filsafat mengenal  3 (tiga) tradisi besar sejarah, yakni tradisi:
  • Sejarah Filsafat India (sekitar2000 SM – dewasa ini)
  • Sejarah Filsafat Cina (sekitar 600 SM – dewasa ini)
  • Sejarah Filsafat Barat (sekitar 600 SM – dewasa ini).

Dari ketiga tradisi sejarah tersebut di atas, tradisi Sejarah Filsafat Barat adalah basis kelahiran dan perkembangan ilmu (scientiae/science/sain) sebagaimana  yang kita kenal sekarang ini. Titik-tolak dan orientasi sejarah filsafat baik yang diperlihatkan dalam tradisi Sejarah Filsafat India maupun Cina disatu pihak dan Sejarah Filsafat Barat dilain pihak, yakni semenjak periodesasi awal sudah memperlihatkan titik-tolak dan orientasi sejarah yang berbeda. Pada tradisi Sejarah Fisafat India dan Cina, lebih memperlihatkan perhatiannya yang besar pada masalah-masalah keagamaan, moral/etika dan cara-cara/kiat untuk mencapai keselamatan hidup manusia di dunia dan kelak keselamatan sesudah kematian. 

Sedangkan pada tradisi Sejarah Filsafat Barat semenjak periodesasi awalnya (Yunani Kuno/Klasik: 600 SM – 400 SM), para pemikir pada masa itu sudah mulai  mempermasalahkan dan mencari unsur induk (arché) yang dianggap sebagai asal mula segala sesuatu/semesta alam Sebagaimana yang dikemukakan oleh Thales (sekitar 600 SM) bahwa “air” merupakan arché, sedangkan Anaximander (sekitar 610  -540 SM) berpendapat arché adalah sesuatu “yang tak terbatas”, Anaximenes (sekitar 585 – 525 SM berpendapat “udara” yang merupakan unsur induk dari segala sesuatu. Nama penting lain pada periode ini adalah Herakleitos (± 500 SM) dan Parmenides (515 – 440 SM), Herakleitos mengemukakan bahwa segala sesuatu itu “mengalir” (“panta rhei”) bahwa segala sesuatu itu berubah terus-menerus/perubahan sedangkan Parmenides menyatakan bahwa segala sesuatu itu justru sebagai sesuatu yang tetap (tidak berubah). 

Lain lagi Pythagoras (sekitar 500 SM) berpendapat bahwa segala sesuatu itu terdiri dari “bilangan-bilangan”: struktur dasar kenyataan itu tidak lain adalah “ritme”, dan Pythagoraslah orang pertama yang menyebut/memperkenalkan dirinya sebagai sorang “filsuf”, yakni seseorang yang selalu bersedia/mencinta untuk menggapai kebenaran melalui berpikir/bermenung secara kritis dan radikal (radix) secara terus-menerus. 

Yang hendak dikatakan disini adalah hal upaya mencari unsur induk segala sesuatu (arche), itulah momentum awal sejarah yang telah membongkar periode myte (mythos/mitologi) yang mengungkung pemikiran manusia pada masa itu kearah rasionalitas (logos) dengan suatu metode berpikir untuk mencari sebab awal dari segala sesuatu dengan merunut dari hubungan kausalitasnya (sebab-akibat). 

Jadi unsur penting berpikir ilmiah sudah mulai dipakai, yakni: rasio dan logika (konsekuensi). Meskipun tentu saja ini arché yang dikemukakan para filsuf tadi masih  bersifat spekulatif dalam arti masih belum dikembangkan lebih lanjut dengan melakukan pembuktian (verifikasi) melalui observasi maupun eksperimen (metode) dalam kenyataan (empiris), tetapi prosedur berpikir untuk menemukannya melalui suatu bentuk berpikir sebab-akibat secara rasional itulah yang patut dicatat sebagai suatu arah baru dalam sejarah pemikiran manusia. Hubungan sebab-akibat inilah yang dalam ilmu pengetahuan disebut sebagai hukum (ilmiah). Singkatnya, hukum ilmiah atau hubungan sebab-akibat merupakan obyek material utama dari ilmu pengetahuan. Demikian pula kelak dengan tradisi melakukan verifikasi melalui observasi dan eksperimen secara berulangkali dihasilkan teori ilmiah.

Zaman keemasan/puncak dari filsafat Yunani Kuno/Klasik, dicapai pada masa Sokrates (± 470 – 400 SM), Plato (428-348 SM) dan Aristoteles (384-322 SM). Sokrates sebagai guru dari Plato maupun tidak meninggalkan karya tulis satupun dari hasil pemikirannya, tetapi pemikiran-pemikirannya secara tidak langsung banyak dikemukakan dalam tulisan-tulisan para pemikir Yunani lainnya tetapi terutama ditemukan dalam karya muridnya Plato. Filsafat Plato dikenal sebagai ideal (isme) dalam hal ajarannya bahwa kenyataan itu tidak lain adalah proyeksi atau bayang-bayang/bayangan dari suatu dunia “ide” yang abadi belaka dan oleh karena itu yang ada nyata adalah “ide” itu sendiri. 

Filsafat Plato juga merupakan jalan tengah dari ajaran Herakleitos dan Parmenides. Dunia “ide” itulah yang tetap tidak berubah/abadi sedangkan kenyataan yang dapat diobservasi sebagai sesuatu yang senantiasa berubah. Karya-Karya lainnya dari Plato sangat dalam dan luas meliputi logika, epistemologi, antropologi (metafisika), teologi, etika, estetika, politik, ontologi dan filsafat alam.

Sedangkan Aristoteles sebagai murid Plato, dalam banyak hal sering tidak setuju/berlawanan dengan apa yang diperoleh dari gurunya (Plato). Bagi Aristoteles “ide” bukanlah terletak dalam dunia “abadi” sebagaimana yang dikemukakan oleh Plato, tetapi justru terletak pada kenyataan/benda-benda itu sendiri. Setiap benda mempunyai dua unsur yang tidak dapat dipisahkan, yaitu materi (“hylé”) dan bentuk (“morfé”). Lebih jauh bahkan dikatakan bahwa “ide”  tidak dapat dilepaskan atau dikatakan tanpa materi, sedangkan presentasi materi mestilah dengan bentuk. 

Dengan demikian maka bentuk-bentuk “bertindak” di dalam materi, artinya bentuk memberikan kenyataan kepada materi dan sekaligus adalah tujuan (finalis) dari materi.  Aristoteles menulis banyak bidang, meliputi logika, etika, politik, metafisika, psikologi dan ilmu alam. Pemikiran-pemikirannya yang sistematis tersebut banyak menyumbang kepada perkembangan ilmu pengetahuan



Previous
Next Post »