KAPITALIS DAN MANUSIA MESIN (Robot Bernyawa)

Orang-orang Romawi kuno menggambarkan budak sebagai "alat yang dapat berbicara" (instrumentum vocale). Kini, banyak buruh akan merasa bahwa penggambaran ini dapat juga diterapkan pada mereka. Kita seharusnya hidup dalam satu dunia post-modern, post-industrial, post-Fordist. Tapi, sejauh menyangkut kondisi kehidupan rakyat pekerja, apa yang telah berubah? 

Di mana-mana, keuntungan yang telah didapat di masa lalu sedang mengalami serangan balik. Di Barat, standard hidup, bagi sebagian terbesar rakyat, kini sedang ditekan habis. Negara-kesejahteraan sedang digerogoti, dan ketersediaan lapangan pekerjaan tinggal masa lalu.

Di semua negeri, masyarakat sedang dijangkiti oleh satu perasaan gelap yang berkepanjangan. Perasaan ini dimulai dari atas dan menetes ke bawah sampai tingkatan terendah. Perasaan tidak aman yang dilahirkan oleh pengangguran massal permanen telah menyebar ke seksi-seksi angkatan kerja yang di masa lalu beranggapan bahwa diri mereka kebal terhadapnya - para guru, dokter, perawat, pegawai negeri, manajer pabrik - tidak ada lagi yang aman.

Tabungan dari kelas menengah, nilai rumah mereka, juga terancam oleh pergerakan pasar uang dan bursa saham yang tak terkendali. Kehidupan milyaran umat manusia berada dalam genggaman kekuatan membabi-buta yang bekerja dengan satu kengawuran yang akan membuat dewa-dewa masa lalu menjadi sangat rasional bila dibandingkan dengannya.

Manusia menjadi manusia dengan memisahkan diri dari sifat murni kehewanan, yaitu, ketidaksadaran, naluri alamiah semata. Bahkan hewan yang paling kompleks sekalipun tidak dapat menandingi pencapaian umat manusia, yang memungkinkannya bertahan dan menjadi makmur dalam berbagai kondisi dan iklim, di laut, di udara, dan bahkan di antariksa. Umat manusia telah mengangkat dirinya demikian jauh dari keadaan "alami"-nya, keadaan kehewanannya, mereka telah menguasai lingkungan mereka sampai tingkatan yang tak tertandingi. Namun, paradoksnya, manusia masih terus dikendalikan oleh kekuatan-kekuatan yang membabi-buta di luar kendali mereka.

Apa yang disebut "ekonomi pasar" didasarkan pada premis bahwa manusia tidaklah mengendalikan kehidupan dan nasibnya sendiri, tapi merupakan boneka belaka di tangan kekuatan-kekuatan tak kasat mata, yang, seperti seperti dewa-dewa yang rakus dan tak dapat diterka dari jaman dulu, mengatur segala sesuatu tanpa rima atau keteraturan sama sekali. Dewa-dewa ini memiliki pendeta-pendetanya sendiri, yang menghabiskan hidup mereka mengabdi kepadanya. 

Para pendeta ini mendiami bank-bank dan bursa saham, dengan upacara-upacara mereka yang rumit, dan membuat keuntungan yang menebalkan pundi mereka melalui upacara itu. Tapi, ketika dewa-dewa marah, para pendeta itu panik, seperti sekawanan hewan yang berlarian ketakutan, dan dengan insting yang sama.

Beberapa dasawarsa lalu, dengan yakin diramalkan bahwa derap maju ilmu pengetahuan dan teknologi akan menyelesaikan semua masalah yang dihadapi umat manusia. Di masa depan manusia tidak akan lagi risau dengan perjuangan kelas, tapi dengan masalah mengisi waktu luang. Ramalan ini sama sekali bukannya tanpa dasar. Dari sudut pandang yang murni ilmiah, tidak ada alasan mengapa kita tidak seharusnya dimungkinkan mengurangi hari dan jam kerja, sekaligus meningkatkan hasil produksi dan standard hidup, berdasarkan produktivitas tinggi yang didapatkan dari penerapan teknologi baru. Tapi situasi sesungguhnya sangatlah berbeda.

Marx telah menjelaskan jauh-jauh hari bahwa, di bawah kapitalisme, diperkenalkannya mesin, bukannya mengurangi hari kerja, malah cenderung memperpanjangnya. Di semua negeri kapitalis utama, kita melihat satu tekanan tanpa ampun atas kaum pekerja untuk bekerja semakin lama, untuk mendapatkan upah yang semakin rendah. Dalam edisi 24 Otober 1994, Time melaporkan satu peningkatan tajam dari perekonomian Amerika, dengan tingkat keuntungan yang membumbung tinggi: "Tapi kaum buruh mengeluh bahwa bagi mereka pengembangan usaha berarti kelelahan. 

Di seluruh industri Amerika, perusahaan-perusahaan menggunakan lembur untuk memeras tetes keringat terakhir dari angkatan kerja Amerika Serikat; minggu kerja pabrik kini mencapai satu rekor 42 jam, termasuk 4,6 jam lembur. 'Orang-orang Amerika,' Audrey Freedman, seorang ekonom buruh dan anggota redaksi Time, mengamati, 'adalah pekerja paling keras di dunia.' Tiga besar produsen mobil telah mendorong kecenderungan ini ke tingkat ekstrim. Para buruh mereka ditempatkan pada 10 jam lembur seminggu dan bekerja delapan jam pada hari Sabtu rata-rata enam hari dalam setahun."

Teknologi yang baru bukannya memperbaiki taraf kehidupan kaum buruh dalam industri, ia malah digunakan untuk memperburuk kondisi dari para buruh kerah putih. Di kebanyakan bank, rumah sakit dan kantor-kantor besar, posisi para pekerja kini semakin mirip dengan apa yang terjadi di pabrik-pabrik. Rasa tidak aman yang sama, tekanan yang tanpa henti atas sistem syaraf, stress yang sama, yang membawa masalah-masalah kesehatan, depresi dan perceraian.

Di tahun-tahun terakhir para ilmuwan telah kembali pada ide "manusia-mesin", dalam hubungannya dengan bidang robotik dan masalah kecerdasan-buatan (AI, Artificial Intelligence). Ide ini bahkan telah merasuki imajinasi populer, seperti yang ditunjukkan oleh kepopuleran film-film sejenis Terminator, di mana manusia dihadapkan melawan mahluk robot yang dirancang dengan demikian jeniusnya. 

Gejala yang terakhir disebut ini mengungkapkan cukup banyak tentang psikologi yang berkembang saat ini, yang dicirikan dengan dehumanisasi manusia, yang tercampur dengan satu perasaan bahwa umat manusia tidaklah memegang kendali atas nasibnya sendiri, dan ketakutan akan satu kekuatan tak terkendali yang mendominasi kehidupan manusia. 

Padahal, upaya untuk menciptakan kecerdasan-buatan merupakan satu kemajuan dalam ilmu robotik, yang, dalam sebuah masyarakat rasional yang sejati, membuka satu kemungkinan yang gemilang bagi perkembangan umat manusia.




Previous
Next Post »